Antara Bingung dan Takut (1)
Antara bingung dan takut, itulah perasaan yang terjadi saat gelar sarjana kurealisasikan dalam wisuda hari ini. Aku gembira karena bundaku bisa tersenyum sumringah melihat aku, anaknya yang paling tertua, berpakaian sarjana dan siap memasuki ruang wisuda. Ke-3 adikku pun hadir dalam acara bersejarah dalam keluarga kami ini. Bagaimana tidak, aku adalah sarjana pertama di keluarga besar ibu, walaupun di keluarga ayah sudah banyak sepupuku yang sarjana.
Bundaku memang pekerja keras menggantikan peran ayah yang telah tiada karena penyakit kanker yang dideritanya saat aku masih SMP dan adikku yang lain masih kecil terlebih adik bungsuku belum genap berumur setahun.
Dengan berdagang lontong sayur di pasar induk, ibu telah mengangkat harkat dan martabatku menjadi seorang mahasiswa dan hari ini kuraih gelar sarjana hanya dengan waktu 4 tahun.
Antara bingung dan takut, kuselesaikan acara wisuda sarjana ini. Universitas tempatku menghabiskan waktu 4 tahun ini, akan kutinggalkan. Aku bersyukur karena bisa masuk ke universitas negeri, sehingga biaya kuliah tidak begitu mahal dibandingkan universitas swasta di ibukota tercinta ini.
Aku ingat perjuangan bunda yang bisa menyisihkan uang hasil menjual lontong sayur untuk biaya kuliah dan uang sekolah adik-adikku. Kami berempat anak-anaknya saling bahu membahu membantu bunda berdagang. Bunda berdagang mulai dari subuh hingga tengah hari di pasar induk. Hasilnya adalah gelar sarjana telah kuraih, kini aku adalah sarjana ekonomi. Semuanya kusyukuri walaupun IP-ku hanya 3,3.
“Woyy Rudy.. Rud.. sini, kita foto bersama” teriak Panji sepupuku dari keluarga ayah yang muncul dari arah kerumunan keluarga wisudawan menuju kearahku sesaat acara wisuda sarjana baru selesai. Panji juga satu almamaterku, tapi dia sudah menjadi sarjana setahun yang lalu.
Karena kondisi ekonominya sudah membaik, Panji bisa membawa camera sendiri. Kami berfoto bersama dengan bunda dan adik-adikku.
Suasana sungguh mengharukan. Bunda tak lepas memelukku, akupun memeluk adik-adikku. Kami semua penuh senyum bahagia, saling berpelukan.
Antara bingung dan takut, itulah yang saat ini kualami setelah 1 minggu setelah wisuda tetap membantu bunda menyiapkan dagangannya. Bingung untuk memulai melamar pekerjaan dan takut kalau menganggur kelamaan. Orang tentu akan mencibirku sebagai sarjana yang asal lulus.
Subuh itu bunda kutinggalkan di pasar tempatnya berdagang bersama Dina, adik perempuanku nomor 3. Sudah satu tahun dia lulus SMA, tapi tidak bisa melanjutkan kuliah karena pertimbangan biaya. Bunda mengatakan kepadanya supaya menunggu aku lulus kuliah dulu dan biaya kuliah kuliah nantinya akan ditanggung olehku apabila sudah bekerja.
Adikku yang nomor 2 Tito, laki-laki, kini bekerja sebagai teknisi mobil di dan tinggal di suatu bengkel. Dia lulusan STM mesin. Dia pun tidak bisa kuliah, karena gagal dalam UMPTN, sehingga memutuskan untuk bekerja dulu, baru akan dipikirkan tentang kuliahnya. Sedangkan adikku yang bungsu Nita, masih kelas 3 SMP.
Kembali ke rumah sudah jam 5 pagi, kubangunkan adik bungsuku itu.
“Nita.. ayo bangun. Kamu gak sekolah?” teriakku.
Nita bangun dengan bermalas-malasan dan duduk dengan mata masih tertutup. Dasar anak manja pikirku.
Aku tidak pernah marah dengan adikku yang satu ini, mungkin karena bungsu diantara kami.
Segera kulangkahkan kaki ke dapur yang kecil, peralatan masih banyak yang kotor bekas masakan dagangan bunda.
Sebentar saja semua panci telah selesai kucuci dan kugantung di dinding dapur.
Kulihat Nita, adikku, sedang menyapu ruang tengah dan depan. Memang kami sekeluarga saling membagi tugas untuk membersihkan rumah.
Kalau aku yang ikut bunda berdagang, Dina, adikku nomor 3, yang membersihkan dapur dan mencuci baju.
Sedangkan Nita mempunyai tugas tetap yaitu menyapu dan ngepel.
“Sudah Nit, kamu cepat mandi sana. Nanti kakak aja yang ngepel. Lihat tuh sudah hampir jam 5.30, nanti kamu telat sekolah” seruku kepada Nita.
Nita teriak sambil jingkrak-jingkrak.
“Makasih kak Rudy yang baik” jawabnya sambil meletakkan sapu dan menyambar handuk yang tergantung dekat pintu kamar mandi.
Waahh.. banyak handuk yang harus dicuci nih pikirku. Kuambil handuk-handuk yang sudah seharusnya dicuci tersebut, termasuk handukku.
Kusatukan handuk-handuk tadi ke tumpukan pakaian kotor lainnya.
Tumpukan pakaian kotor tersebut kuangkat dan langsung masuk ke kamar mandi, kulihat Nita sedang keramas.
Kami sekeluarga dari dulu memang sudah terbiasa mandi bareng atau nyuci baju saat ada yang sedang mandi.
Kamar mandi tidak menggunakan pintu. filmbokepjepang.sex Hanya kain gantung saja yang menutupinya.
Sedangkan untuk buang air besar ada jamban kecil diluar rumah yang terpisah.
Karena itu Nita tidak protes saat aku masuk meletakkan pakaian kotor untuk menyucinya.
Kuambil pakaian Nita yang tadi dikenakannya dan masih tergantung di dinding, kusatukan dengan yang kotor.
Aku juga membuka seluruh pakaian dan celanaku hingga bugil. Kini aku dan adikku sama-sama telanjang bulat.
Dari kecil kami sudah terbiasa melakukan hal seperti ini, tidak ada rasa terangsang atau malu sedikitpun melihat sesama satu keluarga kami, laginya jarang ada famili kami yang datang berkunjung, mungkin karena keluarga kami memang miskin.
Karena itulah cara kami sekeluarga untuk mandi. Merasa aman karena pasti tidak ada orang asing yang akan datang berkunjung.
“Ehhh..pelan-pelan dong mandinya, lihat nih, airnya ke muka kakak terus” seruku ke Nita.
“Sorry kak, lagi semangat nih, airnya segar banget sih” jawabnya sambil melihatku yang sedang merendam pakaian dengan detergent.
“Hahaha.. kak.. idihhhh.. bulunya dicukur yah?” Tanya Nita.
“Bulu apa?” tanyaku cuek sambil memasukkan pakaian kotor satu-satu dengan posisi menunduk menyampingi dirinya..
“Ini.. bulu t*t*t” kata adikku meraba disekitar bulu kemaluan yang biasanya bermukim.
Sambil berdiri, aku lihat kearah kemaluanku yang sudah plontos tidak ada bulunya lagi.
“Hehehe.. iya, kakak lagi nyoba, kalau dicukur enak gak. Kadang-kadang sakit sih terjepit karet celana dalam” jawabku kalem.
“Horeeee.. sekarang Nita yang lebih dewasa dibanding kakak” katanya gembira.
“Lho, koq gitu?” tanyaku sambil mulai duduk di jongkokkan kecil, mulai mencuci pakaian.
“Lihat nih, bulu Nita sekarang lebih panjang dari kakak. Kakak gundul kayak bayi..hihihi” ledeknya.
Kuperhatikan bulu kemaluan adikku yang sudah kelas 3 SMP ini. Hmmm sudah mulai lebat.
Memang masih kalah lebat dengan bulu Dina, adikku yang nomor 3,namun tidak demikian dengan bulu kemaluan bunda.
Kami sekeluarga memang dianugerahi bulu yang lebat, mungkin karena eyang dari ayahku masih keturunan Persia.
Sedangkan bunda adalah asli dari Solo.
Jadi bulu-bulu yang lebat, mungkin keturunan ayah kami.
“Hiyyyyy… ITU ADA KECOAK” seruku ke Nita membalas ledekannya.
“ARGHHHHHHHH” jeritnya meloncat-loncat dan lari menabrak ku. Perutnya langsung menghantam mukaku, aku jatuh terjengkang ke belakang .
Nita tetap teriak-teriak ketakutan diatas baju yang sedang kucuci tadi.
“Gak ada, unyillllllllllllll, lihat nih kakak sampai terjengkakng” kataku sebal masih terkapar, tetap tidak bisa marah dengan adik bungsuku ini.
Nita celingak-celinguk masih mencari kecoak, dia memang paling takut dengan kecoak.
Sial, maksud hati membalas ledekannya, malah kepala belakangku nyaris menghantam dinding kamar mandi.
“Yeee..laginya kakak nakut-nakutin sih” jawabnya polos, ketika pasti tidak ada kecoak di sekelilingnya.
“Bantuin kakak duduk dong” kataku lemas, masih berpikir bagaimana klo tadi Nita juga ikut jatuh dan menindih tubuhku, pasti kepalaku akan berbenturan langsung dengan lantai plester klo tidak dinding kamar mandi.
Nita mendekat dan mengulurkan tangannya. Kuraih tangannya sambil aku berusaha duduk.
Begitu terduduk, tangan kiriku memegang buah pantatnya sedangkan tangan kananku menjambak bulu kemaluannya, kesal.
Dia tidak bisa bergerak. Nita kaget dan mengaduh.
“Ampun kak… ampun.. janji gak lagi deh” rengeknya manja.
“Awas diulangi lagi yah, itu tadi bahaya tau gak? Kakak bisa geger otak klo kepala kakak tadi kena lantai atau tembok, ngerti?” kataku pura-pura emosi tapi mulai mengendurkan jambakan dibulu kemaluannya.
“Janji tuan besar yang baik hati” katanya manja.
Kulepaskan tanganku dari tubuhnya. Aku berdiri karena busa sabun bekas cucian baju memenuhi punggungku.
Kuambil gayung sambil melirik ke Nita yang matanya melihat punggungku penuh sabun.
Kuguyur badanku, Nita mengusap punggungku yang penuh busa sabun itu dan tiba-tiba…. Penisku ditariknya dengan kedua tangannya..!!
“Auwwww..” jeritku sambil berbalik karena penisku ditarik dengan kuat.
“Rasain… Nita dendam sama kakak, ngapain tadi jambak bulu Nita, hah? Sakit tau” katanya ngikik.
“Ampun Nit”, kataku terdesak tidak bisa lari, karena waktu penisku ditarik, aku reflek berbalik.
Sekarang pantatku bersandar ke bak mandi dan Nita menarik2 penisku ke depan.
Anehnya walaupun ada rasa sakit, tapi ada rasa nikmat disana.
Mungkin karena tadi tangan Nita sempat penuh busa sabun saat mengusap punggungku.
Ditarik-tarik seperti itu, dengan cepat terasa darah di badanku mengalir deras ke arah penis.
Penisku pun terasa mengeras, kencang.
Nita nampaknya tidak menyadari bahwa penisku sudah mengeras ke atas. Dia terus menarik-narik penisku.
Ada rasa sakit namun nikmat yang luar biasa.
“Kakak kan gak punya bulu t*t*t, terpaksa t*t*tnya aku jambak..hahaha” katanya sambil terus kedua tangannya menarik-narik penisku.
“Ampun adikku unyilll yang baik, cantik, putri sofia, ratu kecantikan dunia…ampunnn” kataku merayunya sambil berusaha menarik penisku, tapi ruang yang sempit dengan bak mandi di belakangku tentu tidak bisa melepas penisku dari genggamannya.
Jadilah tarikan kecil pantatku ke belakang, dengan tarikan kedua tangan Nita ke depan mengakibatkan rasa nikmat yang aneh.
Apalagi tarikan di sekitar kepala penis dengan sabun penuh ditangannya membuat rasa nikmat.
Aneh karena memang ini tidak pernah terjadi kejadian seperti ini, karena selama ini aku tidak pernah berbuat apa-apa dengan penisku, selain untuk menyalurkan kencing aja.
Aku tahu bahwa pernikahan itu nantinya akan melakukan persetubuhan dengan lawan jenis, tapi kondisi seperti sekarang ini dengan nikmat yang kualami seperti ini, tidak pernah terpikir dan baru kali pertama kualami.
“Kakak belum minta maaf dan harus janji tidak akan mengulangi menjambak buluku lagi. Tadi sakit tau..!” katanya masih tetap menarik-narik penisku dan aku tetap menarik pinggulku ke belakang, situasi yang jadi seperti mengocok penis.
Aku tidak menjawab pertanyaannya, hanya memandang buah dadanya yang sudah tumbuh.
Astaga, aku baru menyadari kalau adikku sudah seperti wanita dewasa.
Melihat itu aku semakin menggoyangkan pinggulku, ada rasa nikmat bak sengatan listrik yang tidak terlukiskan rasanya.
Mukaku rasanya seperti merah padam.
Nita kulihat sempat mengernyitkan dahinya, mungkin dia bingung dengan perubahan mukaku yang tiba-tiba menjadi serius.
Tidak sampai beberapa detik kemudian, kurasakan penisku berkedut-kedut digenggaman adikku sendiri dan rasa aneh yang tak pernah kurasakan sebelumnya… Crooootttt… crottttt…. Crottttt.. crottttttttttttt…
Semburan sperma yang kencang beberapa kali dan jauh sekali telah menyiram muka adikku yang kaget dan dengan cepat melepas penisku.
Cepat kugantikan genggaman adikku dipenisku, sambil terus mengocok pelan.
“Kakak jahat..kakak jahat.. kenapa aku dikencingi?” ratap adikku.
“Nanti kuadukan ke bunda, air kencing itu najis tau.. Kakak jahat. Untung aku lagi gak wudhu” cetusnya lagi sambil meneruskan mandinya yang terputus tadi.
Aku terdiam, pindah ke pinggir, menyender ke tembok, membungkuk sambil memegang penisku.
Ya ampun, begitu toh kalau air mani keluar. Astaga, justru adikku yang pertama kali membuat aku ejakulasi pertama kali, batinku.
“Sudahlah, cepat mandinya, nanti kamu telat sekolah” kataku sambil duduk perlahan meneruskan mencuci dan terus berpikir, bagaimana ceritanya kalau Nita benar-benar mengadu ke bunda. Aku yang baru jadi sarjana, malah berbuat yang tidak-tidak dengan adikku.
Bunda bisa mendamprat habis-habisan nih pikirku. Ahhh..tapi kan tadi Nita bilang cuma dikencingi, tentu lebih mudah menjawab jika bunda memang bertanya.
Nita sudah keluar dari kamar mandi, dan terdengar dia mulai sarapan. 10 menit kemudian, dia masuk ke kamar mandi, sudah siap berangkat ke sekolah.
“Kak, hehehe.. aku gak jadi cerita ke bunda deh, karena yang salah aku juga sih. Tapi awas, kalau sekali lagi kencingin Nita, tiada maaf bagimu.. Huhhh.. Aku berangkat sekolah yah kak” katanya lagi tetap ceria.
“Hati-hati di jalan yah nyil, tolong tutup lagi pintu depan” jawabku memanggil sebutannya tersebut karena dia yang paling kecil.
“Ok bos. Wish me luck” katanya dari ruang dalam dan kemudian terdengar pintu ditutup kembali.